JAKARTA – Ketua Mahkamah Agung (MA) RI, Prof. Sunarto, mendesak agar segera dibentuk Undang-Undang Contempt of Court sebagai upaya memperkuat kewibawaan aparat penegak hukum dan menjaga marwah peradilan dari berbagai bentuk gangguan.

Hal tersebut disampaikan Prof. Sunarto saat memberikan pidato kunci dalam Seminar Internasional dalam rangka HUT ke-72 Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang digelar di Gedung MA, Jakarta Pusat, Senin (21/4/2025).

Acara ini dihadiri pimpinan MA, Wakil Ketua MA Bidang Nonyudisial Suharto, serta peserta dari dalam dan luar negeri secara luring dan daring.

“Penelitian Mahkamah Agung tahun 2020 menyimpulkan bahwa penyelenggaraan peradilan harus bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis. Maka, segala tindakan yang mengganggu jalannya persidangan perlu dikategorikan sebagai tindak pidana contempt of court,” ujar Prof Sunarto.

Ia menambahkan, bentuk gangguan yang dimaksud bisa berupa ucapan, tulisan, sikap, maupun perilaku yang menyasar hakim, aparatur pengadilan, atau pihak berperkara. Ia menegaskan bahwa perlindungan terhadap proses peradilan tidak hanya soal menjaga otoritas hakim, tetapi juga menjamin keadilan bagi semua pihak.

Menurutnya, wacana pembentukan UU Contempt of Court telah diangkat sejak Rapat Kerja Nasional MA pada tahun 2001, dan dikuatkan melalui berbagai penelitian lanjutan pada 2015 dan 2022. Salah satu contohnya adalah tindakan administratif berupa pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat yang dilakukan baru-baru ini. Prof Sunarto menekankan bahwa tindakan itu bukan pencabutan izin, melainkan sanksi administratif yang bersifat korektif dan proporsional.

Sejumlah putusan terkait contempt of court juga diangkat dalam seminar ini, antara lain:

Indonesia (2011): Seorang pengacara dijatuhi hukuman 7 hari penjara karena membuat kegaduhan saat sidang berlangsung di PN Jakarta Selatan.

Amerika Serikat (California, 2001): Pengacara dijatuhi denda US$200 atau hukuman 4 hari penjara karena komentar menghina saat persidangan.

Irak: Seorang hakim memerintahkan pengurungan terhadap pihak yang menghina pengadilan dengan kata-kata kasar.

Seminar ini juga dihadiri oleh tokoh-tokoh hukum internasional, seperti Justice See Kee Oon dari MA Singapura dan Prof Jiang Min dari China-ASEAN Legal Research Center. Dari dalam negeri, hadir Ketua Kamar Pidana MA Dr. Prim Haryadi, Ketua Komisi Yudisial Prof. Amzulian Rifai, dan Ketua Komisi III DPR Dr. Habiburokhman.

Diskusi juga diwarnai tanggapan dari kalangan akademisi dan praktisi, seperti Guru Besar Hukum Pidana UI Prof. Harkristuti Harkrisnowo dan Ketua Umum DPN Peradi Dr. Luhut Pangaribuan. Seminar dipandu oleh moderator Dr. Aria Suyudi. (Dom)