Surat Dakwaan JPU Dianggap Cacat Formil, Rahadi Ajukan Pembebasan Terdakwa Zainab
SURABAYA – Rahadi Sri Wahyu Jatmika, Kuasa Hukum terdakwa Zainab Ernawati (64) perkara dugaan penipuan menyoal surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Estik Dilla Rahmawati dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak, pada Kamis (19/6/2025) dalam sidang ruang Garuda 2 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Berlangsung sidang beragenda eksepsi itu, Rahadi menyatakan keberatan terhadap surat dakwaan JPU. Ia menyampaikan sejumlah keberatan terhadap dakwaan yang dinilainya tidak memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) dan (3) KUHAP.
Surat dakwaan JPU dianggap cacat secara hukum karena tidak menguraikan waktu kejadian perkara secara jelas. “Di dalam dakwaan hanya disebutkan ‘pada waktu yang tidak dapat diingat lagi, yang terjadi pada bulan Desember 2018, sehingga menyulitkan terdakwa dalam membela diri. Ini bertentangan dengan asas kepastian hukum,” ujarnya.
Selain itu, Rahadi mempersoalkan tidak adanya pemberitahuan resmi mengenai pelimpahan perkara dari kepolisian ke kejaksaan hingga ke pengadilan. Ia menyebut bahwa kliennya tidak pernah menerima salinan surat dakwaan sebelum persidangan dimulai, padahal hal itu merupakan hak terdakwa sebagaimana dijamin dalam KUHAP dan prinsip fair trial.
“Terdakwa tidak pernah menerima surat dakwaan sebelum sidang dimulai. Ini pelanggaran serius terhadap hak asasi dan prinsip due process of law,” tegas Rahadi.
Ia juga menambahkan bahwa surat dakwaan tidak mencantumkan tanggal pembuatan secara jelas, hanya tertulis “Surabaya, Mei 2025”.
Menurutnya, hal itu dinilai mutlak telah cacat formil yang mengakibatkan dakwaan menjadi batal demi hukum. “Surat dakwaan disusun tidak cermat dan kabur (obscuur libel), karena tidak memuat uraian fakta-fakta secara lengkap dan hanya merujuk pada bunyi pasal tanpa menguraikan peran konkret dari terdakwa,” paparnya Rahadi.
Atas hal itu, Rahadi memohon agar majelis hakim menerima dan mengabulkan eksepsi terdakwa secara keseluruhan. “Menyatakan surat dakwaan tidak dapat diterima atau batal demi hukum, menyatakan pemeriksaan perkara tidak dapat dilanjutkan, membebaskan terdakwa dari segala tuntutan dan bentuk penahanan,” pungkasnya.
Untuk diketahui dalam dakwaan JPU, terdakwa bertemu dengan saksi Nagasaki Widjaja di Warung Kopi Royal 31, Surabaya sekitar November hingga Desember 2018. Dalam pertemuan itu, terdakwa mengaku sebagai pembeli awal sebidang tanah seluas 206 meter persegi di Jalan Ir. Soekarno, Kalijudan, Surabaya, yang disebut milik seseorang bernama Udin. Terdakwa mengklaim telah memberikan uang muka sebesar Rp 200 juta kepada pemilik tanah dan menunjukkan kwitansi sebagai bukti. Karena mengaku tidak mampu melunasi sisa pembayaran, terdakwa menawarkan tanah tersebut kepada saksi Nagasaki.
Pada tanggal 26 Desember 2018, saksi Nagasaki bersama terdakwa dan dua orang lainnya, Njoo Guan Lie alias Willy dan Njoo Tjipto Tjandra alias Joyo, mendatangi kantor Notaris Z. Amrozi Johar untuk membuat akta perjanjian ikatan jual beli. Setelah perjanjian dibuat, saksi Nagasaki melakukan pembayaran melalui rekening BCA dalam tiga kali transfer dengan total Rp 500 juta.
Keesokan harinya, pada 27 Desember 2018, terdakwa kembali meminta uang sebesar Rp 200 juta kepada saksi dengan alasan sebagai pengganti uang muka yang telah ia bayarkan sebelumnya. Uang tersebut kemudian ditransfer ke rekening atas nama Zainab Ernawati.
Namun belakangan diketahui bahwa perjanjian jual beli tersebut dibatalkan sepihak oleh pemilik tanah. Dari situ terungkap bahwa terdakwa ternyata bukan pembeli awal dan tidak pernah melakukan pembayaran apa pun kepada pemilik tanah.
Atas perbuatannya, terdakwa telah menyebabkan kerugian sebesar Rp 200 juta kepada saksi Nagasaki Widjaja.(Am)