Vonis Jomplang, Hukuman Kasus Penganiayaan di PN Surabaya Patut Dipertanyakan
SURABAYA – Hukuman terdakwa Kasus penganiayaan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya patut dipertanyakan. Pasalnya ada dua kasus penganiayaan yang telah dituntut dan dihukum berbeda sangat jauh. Hukuman pada dua perkara itu sangat berbeda dan jomplang. Meski sama-sama melakukan dan mengakibatkan luka pada korban.
Seperti halnya, dua perkara penganiayaan yang diputus beda jauh memunculkan perbincangan. Meski sama-sama melibatkan korban dengan luka serius, jalannya proses hukum, pasal yang digunakan, hingga eksekusi vonis memperlihatkan perbedaan yang sangat mencolok, dan terkesan tebang pilih.
Kasus pertama melibatkan terdakwa Semy Mattinaharuw. Di tingkat penyidikan, upaya restorative justice (RJ) sempat dilakukan di Polsek. Jaksa penuntut umum (JPU) Galih Riana Putra Intaran, S.H dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya mengungkapkan, pada tahap penuntutan pihaknya juga mencoba mengupayakan RJ.
“Pada tahap penuntutan kami juga mengupayakan RJ, tetapi karena kesalahan teknis, pertimbangan RJ-nya belum disetujui,” dalihnya.
Vonis terhadap Semy sudah dijatuhkan, namun hingga kini ia belum dijebloskan ke penjara. Alasan yang disampaikan pihak kejaksaan adalah kondisi kesehatan.
“Terdakwa Semy Mattinaharuw belum dieksekusi karena sakit diabetes,” ungkap jaksa Galih.
Berbeda dengan Semy, perkara kedua yang melibatkan Johan bin Yusuf (73) memperlihatkan penanganan lebih tegas. Menurut JPU Suparlan Hadiyanto dari Kejari Surabaya, Johan menyerang seorang perempuan bernama Indah Yanti di sebuah warung kopi di kawasan Putat Jaya.
Kakek tersebut membacok korban menggunakan cutter dan pisau dapur, menyebabkan luka di pipi, leher, dada, telapak tangan, bahu, dan lengan. Hasil Visum et Repertum menyatakan luka yang dialami korban tergolong luka berat.
Atas perbuatannya, jaksa menjerat Johan dengan Pasal 351 ayat (2) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, serta subsider Pasal 351 ayat (1) KUHP.
Tuntutan yang diajukan terhadap Johan mencapai 2 tahun 6 bulan penjara. Majelis hakim kemudian memutuskan hukuman 2 tahun 3 bulan penjara. Senjata tajam yang digunakan juga dimusnahkan.
Perbedaan besar di antara dua perkara ini muncul sejak penentuan pasal. Pada kasus Semy, pasal yang dipakai adalah Pasal 335 KUHP yang ancaman hukumannya maksimal hanya sekitar satu tahun penjara.
Padahal, bukti visum dan barang bukti menunjukkan adanya luka robek akibat parang. Sebaliknya, dalam kasus Johan, jaksa memilih pasal dengan ancaman hingga lima tahun penjara.
Perbedaan pasal ini berimplikasi langsung pada besaran tuntutan dan vonis. Selain itu, eksekusi hukuman juga berbeda. Johan telah menjalani masa hukuman di tahanan, sedangkan Semy belum dieksekusi karena alasan medis.
Perbandingan ini menimbulkan pertanyaan di kalangan pemerhati hukum mengenai konsistensi penerapan pasal dan alasan eksekusi. Bagi publik, kasus ini menjadi contoh nyata bahwa dua peristiwa serupa bisa berujung pada perlakuan hukum yang berbeda, tergantung pada faktor teknis, pilihan pasal, dan kondisi pribadi terdakwa.(Am)