Penegakkan Hukum di Sepanjang DAS Citarum, Kewenangan Polisi atau Satgas Citarum?
BANDUNG – Penegakan hukum yang berantakan saat ini berdampak pada banyak pihak di Indonesia, termasuk dunia usaha. Hal ini dialami Aan (61 tahun), pengusaha asal Bandung. Pria pengusaha textil tersebut saat ini resah dengan masalah yang menimpa dia dan usaha yang ditekuni keluarganya secara turun temurun tersebut.
Berawal dari kedatangan beberapa penyidik dari DITTIPDTER BARESKRIM Polri sekitar Mei 2024 ke pabriknya di daerah Rancaekek, Sumedang, Jawa Barat, Aan kemudian dituding telah membuang limbah B3 dan mencemari daerah aliran sungai (DAS) Citarum.
“Saya heran, karena merasa tidak pernah membuang limbah B3, seperti yang mereka tuduhkan kepada saya,” ujar Aan heran dalam siaran persnya pada Rabu (18/12/2024).
Lantas, dia meminta diadakan tes laboratorium untuk membuktikan apakah ada pencemaran seperti yang dituduhkan. Meskipun hasil tes kemudian membuktikan tidak ada pencemaran, namun aparat penyidik tetap berpendapat bahwa telah terjadi pencemaran akibat pembuangan limbah tersebut.
Padahal, tes laboratorium tersebut diadakan di laboratorium Tirtawening milik pemerintah di Kota Bandung. Namun penyidik Polisi tetap bergeming dan tetap menyatakan ada pencemaran.
Atas dasar itulah pihak PT Natatex Prima meminta untuk diadakan tes bersama laboratorium. Namun pihak kepolsian menolak ajakan untuk dilakukan tes bersama. Ketika didesak oleh phak Natatex, lagi-lagi polisi terkesan menghindar dan mengatakan sibuk.
“Padahal sudah kami tawarkan untuk memakai laboratorium milik Polda Jawa Barat,” ungkapnya.
Tidak hanya itu. Aan kemudian meminta pendapat ke pihak Direktorat Jendral Lingkungan Hidup dan mendapat jawaban bahwa kewenangan mengurus limbah di sepanjang DAS Citarum merupakan urusan SATGAS Citarum.
“Bahkan pihak Dirjen LH mengatakan bahwa untuk mengurusi DAS Citarum adalah kewenangan KODAM Silwangi menurut Peraturan Presiden (Perpres) No. 15 Tahun 2018. Jadi mengapa saya masih ditersangkakan oleh polisi? Ini seperti hansip disuruh menilang mobil yang melanggar lalu lintas. Kalau memang saya sudah melakukan pencemaran, mengapa hal tersebut bukannya ditangani oleh SATGAS? Mengapa polisi ngotot membuat saya jadi tersangka? Ada apa ini?” sesal Aan.
Atas dasar tuduhan itu, ia kemudian dijerat dengan pasal berlapis, antara lain UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan dan UU No.6/2023 tentang Penetapan Peratuan Pemerintah Pengganti UU No. 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Saat ini Aan sedang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Sumedang. Aan berharap para penegak hukum bisa obyektif dalam penganan kasus yang menimpa dirinya ini.
“Kita berharap pemerintahan Presiden Prabowo lebih memperhatikan nasib pengusaha seperti kami ini ketika keberlangsungan wirausaha justru menjadi prioritas pembangunan dan perekonomian Indonesia. Sering hukum dipermainkan dan kami-kami ini sering menjadi korban,” sesal Aan.
Yang lebih disesalkannya adalah mengapa hal-hal seperti ini seolah dibiarkan saja. “Siapa yang mau berinvestasi di Indonesia kalau penegakan hukum tidak menjadi perhatin, aparat penegak hukum dan pemerintah tidak ikut menjaga iklim usaha yang sehat,” pungkasnya. (Ger)