BANDUNG – Kasus hukum yang menimpa terdakwa Miming Theniko (MT) dalam perkara dugaan penipuan investasi tekstil senilai Rp. 100 miliar, kembali menyedot perhatian publik. Meski dalam kondisi kesehatan yang memprihatinkan apalagi usia yang sudah sangat tua, terdakwa tetap ditahan dan dituntut 3 tahun 6 bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hayomi di Pengadilan Negeri Bandung pada Selasa (6/5/2025).

Menurut JPU terdakwa terbukti secara sah melanggar Pasal 378 KUHP tentang penipuan. “Terdakwa melakukan tipu daya untuk memperkaya diri sendiri secara melawan hukum,” ujarnya.

Berdasarkan hal itu dibantah keras oleh tim kuasa hukum MT yang menilai tuntutan JPU terlalu mengada-ada, tidak berdasarkan fakta di persidangan, dan sama sekali tidak mencerminkan keadilan.

Randy Raynaldo, S.H., M.H. tim kuasa hukum MT menegaskan banyak fakta yang dikesampingkan Jaksa seolah olah jaksa menutup mata terhadap fakta-fakta di persidangan yang seharusnya justru dapat meringankan bagi posisi kliennya.

“Banyak keterangan saksi yang seharusnya bisa menjadi pertimbangan, tapi diabaikan begitu saja, termasuk keterangan saksi dari pihak JPU sendiri, seperti Budiman Halim,” ujar Randy seusai sidang.

Dan yang lebih mengherankan, kata Randy, JPU dalam tuntutannya menyebut MT pernah menjadi narapidana sehingga faktor tersebut menjadi salah satu hal yang memberatkan, padahal pernyataan itu tidak benar sama sekali.

“Perkara sebelumnya justru telah berkekuatan hukum tetap melalui upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung dan dinyatakan Onslag van alle rechtsvervolging, artinya lepas dari seluruh tuntutan hukum sehingga harkat dan kedudukan MT sebagai pribadi yang bercela telah dipulihkan. Jadi bagaimana mungkin JPU menyebut beliau pernah jadi napi? Kriminalisasi berkelanjutan seolah olah MT dinasibkan supaya masuk bui, ” ungkapnya.

Sementara itu Yoshua Geraldine, S.H. salah satu kuasa hukum MT yang lain juga menyampaikan terhadap substansi surat tuntutan JPU. Menurutnya, bagaimana mungkin JPU mengesampingkan bukti-bukti dan fakta di persidangan yang nyatanya menunjukkan bahwa MT tidak bersalah tetapi surat tuntutan JPU mengurangi bahkan memutar-balikkan bukti-bukti dan fakta tersebut hingga akhirnya membuat MT seolah-olah sudah melanggar ketentuan Pasal 378 KUHP.

“Sejak awal MT sendiri dengan dibantu mami tim kuasa hukum sudah menyampaikan berkali-kali di persidangan yang terhormat ini, bahkan tidak hanya pernyataan kami sendiri saja, tetapi didukung bukti-bukti termasuk dari saksi-saksi lain,” tegasnya.

Yoshua menambahkan niat MT adalah membantu, tidak sedikitpun MT mengambil keuntungan dari situ. Niat MT membantu pelapor adalah tulus dengan meminjamkan cek bahkan total ada ribuan cek untuk dipakai oleh pelapor dalam perputaran rekening perusahaan pelapor, sehingga hal ini membuat kondisi keuangan perusahaan pelapor tadi terlihat bagus dan dapat dipercaya oleh bank untuk kemudian diberikan fasilitas kredit,” tambahnya.

Dalam surat tuntutan JPU menyatakan bahwa MT telah melakukan penipuan investasi, tentunya yang menjadi pertanyaan adalah apa keuntungan yang didapat MT atas tuduhan semacam itu.

“Tidak ada, malah dalam perputaran rekening perusahaan pelapor tersebut ada kelebihan uang dari MT sendiri,” ujar Yoshua.

Secara logika umum saja, kata Yoshua kalau memang MT berniat mencari keuntungan bagi perusahaannya sendiri dengan melakukan penipuan investasi kepada perusahaan pelapor, maka seharusnya perputaran rekening dilakukan atas nama perusahaan MT supaya kemudian perusahaan MT terlihat bagus dikacamata bank.

“Tetapi faktanya kan tidak, justru sebaliknya ini dilakukan dengan rekening perusahaan pelapor. Niat MT membantu menggunakan rekening pribadinya sendiri kepada perusahaan pelapor, tetapi ujung-ujungnya malah menjadi seperti ini di Persidangan Yang Terhormat ini!” tegasnya.

Ironisnya lagi, menurut Yoshua baik permohonan penangguhan penahanan serta permohonan pengalihan penahanan menjadi tahanan kota karena MT sudah berusia lanjut dan kondisi kesehatan MT menurun akibat memiliki riwayat penyakit kronis ditolak mentah-mentah oleh Majelis Hakim.

Ketua Majelis, Tuti Haryati S.H., M.H. berdalih hal penahanan dalam persidangan ini adalah kewenangan Majelis Hakim dan tidak ada rekomendasi medis mendesak seperti kebutuhan operasi. “Kalau memang ada indikasi medis bahwa terdakwa harus segera dioperasi, maka itu bisa menjadi alasan kuat,” ujar Tuti.

Namun tim kuasa hukum menilai sikap Majelis Hakim terlalu kaku dan tidak mempertimbangkan kondisi kemanusiaan bagi MT.

Selain itu, terhadap MT ini juga sudah diajukan permohonan lagi mengenai pemberian izin berobat ke rumah sakit karena berdasarkan hasil tes darah terbaru di laboratorium medis menunjukkan kondisi kesehatan MT mengalami penurunan dan harus segera dilakukan tes lebih lanjut secara komprehensif untuk menentukkan bahaya kesehatan yang dapat terjadi.

“Keadilan Jangan Hanya Tajam ke Bawah
Kasus ini memunculkan pertanyaan besar: apakah sistem hukum kita benar-benar berpihak pada keadilan yang tidak berat sebelah, tegak dari atas ke bawah, atau hanya menjadi alat penindasan bagi yang lemah,” tandasnya.

Sidang akan dilanjutkan pada hari Rabu, tanggal 14 Mei 2025 mendatang dengan agenda pembacaan pledoi. Harapan terakhir ada pada hati nurani Majelis Hakim untuk melihat kasus ini secara utuh dan manusiawi. (Budi)