JAM Pidum Setujui 12 Kasus Restorative Justice, Termasuk Pencurian di Jakpus
JAKARTA – Jaksa Agung Republik Indonesia, melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, menyetujui penyelesaian 12 kasus hukum melalui mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif). Salah satunya adalah kasus pencurian yang melibatkan seorang tersangka, Rizky Mauludin, di Jakarta Pusat (Jakpus), Selasa (4/3/2025).
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung), Dr. Harli Siregar, SH, MHum, kasus ini bermula pada 1 Januari 2025, ketika Rizky Mauludin melihat handphone milik Nur’aini Sungkar tergeletak di depan sebuah warung di Jalan Kramat Pulo Gundul, Jakarta Pusat.
Kemudian, dengan tanpa izin, Rizky mengambil handphone tersebut dan menjualnya ke seseorang bernama Gepeng dengan harga Rp400.000 pada keesokan harinya. Akibat perbuatannya, korban mengalami kerugian senilai Rp2.600.000.
Melalui proses Restorative Justice yang diinisiasi oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat, Rizky Mauludin mengakui perbuatannya, meminta maaf kepada korban, dan sepakat untuk mengganti kerugian senilai Rp2.500.000.
“Dalam kesepakatan tersebut, korban pun menerima permintaan maaf dan memutuskan untuk tidak melanjutkan proses hukum,” ujarnya.
Harli menambahkan, berdasarkan kesepakatan perdamaian ini, Kepala Kejari Jakarta Pusat, Dr. Safrianto Zuriat Putra SH, MH, mengajukan permohonan penghentian penuntutan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) DK Jakarta, yang kemudian disetujui oleh JAM-Pidum dalam ekspose virtual pada Selasa, 4 Maret 2025.
Selain kasus pencurian ini, lanjut Dr. Harli menjelaskan, ada 11 kasus lain yang juga diselesaikan melalui mekanisme yang sama. “Keputusan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, seperti pengakuan tersangka, permintaan maaf, serta kesediaan tersangka untuk mengganti kerugian korban,” jelasnya.
Menurut Dr. Harli, dalam ekspose tersebut, JAM-Pidum menjelaskan bahwa mekanisme ini diambil setelah mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain, tersangka belum pernah dihukum sebelumnya, perbuatan tersebut adalah pelanggaran pertama, dan ancaman pidana tidak lebih dari lima tahun.
“Proses perdamaian dilakukan secara sukarela tanpa tekanan atau intimidasi, dengan tujuan untuk tidak melanjutkan permasalahan ke pengadilan demi manfaat yang lebih besar bagi semua pihak,” ungkapnya.
Jaksa Agung juga meminta Kepala Kejari untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020, sebagai bentuk implementasi keadilan yang lebih restoratif dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dengan keputusan ini, Jaksa Agung berharap dapat mendorong sistem peradilan yang lebih berfokus pada penyelesaian yang mengedepankan perdamaian dan keadilan, serta memberikan ruang bagi masyarakat untuk berdamai dan menghindari hukuman yang lebih berat. (Ram)