Sidang Pelanggaran Bangunan Gedung, Saksi Akui Terdakwa Tidak Pernah Melakukan Perusakan
SURABAYA – Dugaan pelanggaran bangunan gedung. Pasangan Suami istri yaitu Sudarmanto dan Dian jadi pesakitan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu (2/6/2025). Sidang yang kembali di gelar ini beragenda keterangan saksi korban.
Berlangsung dalam sidang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Estik Dilla Rahmawati menghadirkan tiga saksi diantara salah satunya adalah M. Soleh, saksi korban.
Selain Soleh, ada dua saksi lain yakni Kriswanto, sebagai pemilik rumah sebelum dibeli oleh Soleh dan Sugeng Hariyanto, ASN Dinas Cipta Karya Pemerintah Kota Surabaya.
Secara bersamaan ketiganya memberikan keterangannya di hadapan majelis hakim. Soleh menerangkan bahwa perkara ini berawal pada saat dirinya menyewa sebidang tanah kosong di sebelah rumahnya di Kalilom pada 2015.
Berlangsung dalam sidang Jaksa Estik menanyakan kepada saksi korban, apa terdakwa melakukan perusakan dengan sengaja?. “Tidak pernah (terdakwa melakukan perusakan),” jawab Soleh, atas pertanyaan JPU Estik.
JPU Estik juga menanyakan kepada Soleh perihal pernyataannya yang menyebut bahwa terdakwa melakukan perusakan secara sistematis. “Pernyataan saksi tadi mengenai kesengajaan merusak sistematis itu hasil hearing atau yang saksi rasakan sebagai korban?,” tanya Estik. Soleh pun menjawab bahwa itu bukan hasil hearing Komisi C DPRD Surabaya.
Kata Soleh bercerita, bahwa dirinya menyewa tanah dengan membayar Rp5 juta kepada terdakwa. Namun setelah uang diterima, terdakwa tidak pernah memberikan kwitansi pembayaran sewa. “Padahal transaksi sekecil apa pun harus ada tanda terimanya. Oke, terdakwa tidak mau kasih kwitansi, kemudian saya minta kesaksian warga, semua saksi oke,” kata Soleh.
Berlanjut pada tahun 2016, Soleh melihat terdakwa membangun rumah di tanah tersebut. Soleh pun meminta uang sewanya dikembalikan, namun terdakwa tidak menanggapinya. Ia menuturkan, rumah tersebut dibangun setinggi empat lantai.
Lanjut Soleh, bahwa sejak bangunan tersebut mencapai lantai tiga, dinding rumahnya mulai mengalami retak-retak. Ia mengaku telah mengupayakan mediasi, mulai dari RT hingga kecamatan, namun hasilnya nihil. “Kebal Hukum, Mental semua,” ucapnya.
Soleh juga menyebutkan bahwa Sudarmanto adalah orang kuat dan kebal hukum. Karena menurutnya hampir selama mediasi tak membuahkan hasil, pada Juli 2018 ia melapor ke Pemkot Surabaya dan diundang oleh Satpol PP untuk mediasi. Saat itu pihak Satpol PP memberikan waktu 10 hari untuk penyelesaian.
Tak berhenti disana, Soleh pun memanggil konsultan dari ITS untuk menghitung nilai kerugian rumahnya. Hasil perhitungan menunjukkan kerusakan sebesar Rp97 juta. Namun saat mediasi di kelurahan, terdakwa menyatakan hanya sanggup memberikan sumbangan Rp1,5 juta. “Uang segitu kan tidak berprikemanusiaan. Tidak ada etikanya,” cetusnya.
Soleh pun kemudian mengirim surat ke tujuh instansi di Surabaya. Salah satu yang merespon suratnya adalah Dinas Cipta Karya, yang menemukan bahwa bangunan terdakwa tidak memiliki IMB.
Selain kerugian materi, Soleh juga mengaku mengalami kerugian psikologis yang dialami keluarganya. “Istri saya sering saya tinggal. Kalau malam sering dengar gluduk-gluduk. Setelah saya cek, ternyata wuwung rumah saya rusak. Sebelum dibangun, rumah saya aman-aman saja,” ujarnya.
Soleh menambahkan, perkara ini juga pernah dibahas empat kali dalam hearing Komisi C DPRD Surabaya. Hasil rapat Komisi C antara lain menyatakan: pemilik bangunan harus memperbaiki rumah Soleh, nilai kerusakan dihitung sesuai kesepakatan kedua pihak, dan Sudarmanto wajib mengajukan SKRK.
Ia juga menyampaikan bahwa dirinya tahu kondisi tanah di Kalilom, yang bila digali satu meter akan keluar air. Ia menilai pembangunan rumah oleh terdakwa dilakukan tanpa keterlibatan ahli, hanya oleh tukang biasa yang merupakan adik dari terdakwa. “Kasus ini sudah delapan tahun,” keluhnya.
Sementara saksi selanjutnya, yaitu saksi tukang bangunan menyampaikan bahwa rumah Soleh dulunya hanya satu lantai, kini sudah dua lantai. “Dulu Pak Soleh beli rumah dari saya. Dulu rumahnya satu lantai, sekarang dua lantai,” jelasnya.
Menanggapi keterangan para saksi, terdakwa Sudarmanto membantah bahwa rumahnya memiliki empat lantai. “Saya keberatan. Rumah saya hanya tiga lantai, itu pun lantai tiga untuk jemuran,” singkatnya.
Sedangkan, terdakwa Dian istri dari terdakwa sidarmanto mengaku tidak tahu soal masalah ini sejak awal. “Tiba-tiba saya diajak rembukan. Saya pernah bilang ke istri Pak Soleh, saya akan bayar ganti rugi tapi tunggu rumah saya laku saya jual. Kalau minta cepat, saya uang dari mana?,” katanya.
Untuk diketahui, terdakwa Sudarmanto dan Dian Kuswinanti didakwa melakukan pembangunan rumah tanpa perencanaan yang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, yang telah diubah dengan UU Cipta Kerja. Bangunan tersebut juga sempat memiliki IMB, namun kemudian dicabut Pemkot Surabaya.
Atas perbuatannya, kedua terdakwa dijerat dua dakwaan alternatif, yaitu Pasal 46 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau Pasal 47 huruf a jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(Am)