SURABAYA – Sidang kasus penipuan PTPN Jawa Barat (Jabar) Fiktif dengan terdakwa Mulia Wiryanto. Kini ini sidang beragenda pemeriksaan saksi korban, Hardja Karsana Kosasih, S.H di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (17/3/2025).

Sidang terdakwa Mulia Wiryanto, saksi korban Kosasih mengungkapkan berbagai fakta baru terkait modus investasi yang dijanjikan terdakwa kepada korban.

Dalam kesaksiannya di hadapan majelis hakim, Hardja Karsana Kosasih, S.H. menjelaskan bahwa pertemuannya dengan terdakwa terjadi pada awal Agustus 2020 di Restoran Jepang (IMARI) Hotel J.W. Marriott Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, terdakwa menawarkan investasi usaha jual beli gula yang diklaim bekerja sama dengan PTPN Jawa Barat serta memiliki pembeli dari Pemerintah Jawa Barat.

“Terdakwa meyakinkan saya bahwa bisnis ini tidak mungkin rugi. Ia mengatakan jika saya bersedia menitipkan modal, maka uang tersebut tidak akan hilang dan bisa saya ambil kapan saja. Saya juga dijanjikan keuntungan minimal 5% per bulan yang akan dibagi dua antara saya dan terdakwa,” ujar Hardja di persidangan.

Awalnya, saksi menolak tawaran tersebut dengan alasan tidak memahami bisnis gula. Namun, terdakwa kemudian menunjukkan foto-foto aktivitas usahanya melalui ponsel dan kembali meyakinkan saksi dengan menjanjikan jaminan penuh atas modal yang dititipkan.

“Ia terus meyakinkan saya dan mengatakan saya tidak perlu ikut campur dalam bisnis ini, cukup duduk manis saja. Jika ada kerugian, itu menjadi tanggung jawab terdakwa sepenuhnya,” tambahnya.

Setelah mendapat keyakinan, pada 4 September 2020, saksi akhirnya setuju untuk bekerja sama dengan terdakwa dan menandatangani perjanjian di Hotel J.W. Marriott Surabaya. Pada hari yang sama, saksi kemudian menyetorkan modal usaha sebesar Rp 10 miliar ke rekening atas nama Mulia Wiryanto melalui beberapa transaksi di Bank BCA KCU Diponegoro.

Namun, dalam perjalanannya, saksi tidak pernah melihat secara langsung aktivitas bisnis yang dijanjikan terdakwa. Semua hanya berdasarkan kepercayaan. Seiring berjalannya waktu, keuntungan yang dijanjikan tidak terealisasi sesuai kesepakatan.

“Dari 9 Februari 2021 hingga 23 Desember 2022, saya hanya menerima keuntungan sebesar Rp 2,35 miliar, jauh dari yang dijanjikan terdakwa. Seharusnya saya mendapatkan keuntungan setiap bulan,” ungkap Hardja.

Ketika saksi mencoba meminta kembali modal yang telah dititipkan, terdakwa justru terus mengulur waktu dengan berbagai alasan.

“Setiap kali saya menagih, terdakwa selalu berjanji akan segera mengembalikan. Namun, ia beralasan bahwa jika uang saya dikembalikan, bisnis gula akan berhenti total. Ia juga mengatakan sedang mengurus perkara terkait Hotel Santika di Surabaya dan proses perusahaannya untuk go public,” terang saksi.

Setelah berkali-kali tidak mendapat kepastian, saksi akhirnya mengirimkan beberapa surat somasi kepada terdakwa, yakni pada 24 Juni 2024, 3 Juli 2024, 15 Juli 2024, dan 29 Juli 2024. Namun, terdakwa hanya merespons melalui pesan WhatsApp dengan meminta waktu lebih lama untuk mengembalikan dana tersebut.

“Dalam pesannya pada 4 Juli 2024, terdakwa mengatakan bahwa sumber pembayaran kembali hanya ada dua, yaitu melalui kredit bank atau dengan cara IPO yang sedang ia jalankan. Lalu pada 16 Juli 2024, ia kembali meminta waktu hingga Desember 2024 karena menunggu proses perusahaannya menjadi Tbk,” papar Hardja sambil membacakan isi pesan WhatsApp terdakwa.

Lebih lanjut, saksi juga mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil pengecekan di Ditjen AHU, terdakwa baru menjabat sebagai Komisaris Utama PT Karya Sentosa Raya pada 16 Juni 2021. Sedangkan saat menerima dana investasi pada 4 September 2020, terdakwa belum memiliki jabatan maupun saham di perusahaan tersebut.

“Saat saya periksa lebih lanjut, ternyata terdakwa bahkan tidak memiliki kerja sama dengan pihak PTPN Jawa Barat, seperti yang ia klaim saat menawarkan investasi ini kepada saya,” tegasnya.

Akibat perbuatan terdakwa, saksi mengalami kerugian sebesar Rp 10 miliar dan akhirnya melaporkan kasus ini ke Polrestabes Surabaya.(Am)