JAKARTA — Sidang lanjutan dugaan korupsi kredit fiktif di Bank Rakyat Indonesia (BRI) unit Kebon Baru sebesar Rp19, 3 miliar kembali digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis (13/11/2025) dengan agenda pemeriksaan saksi.

Sebelum di periksa dan didengarkan keterangannya, tiga orang saksi terlebih dahulu diambil sumpahnya. Adapun ketiga saksi tersebut adalah Evi Purba selaku team leader audit. Lalu, Tirtaguna Unggul Rudyanto selaku manager bisnis mikro 2024 sampai saat ini, dan Budi Suryanto selaku manager bisnis mikro pada saat itu.

Pemeriksaan ketiga saksi tersebut, untuk empat terdakwa yakni Parlindungan Pasaribu, Nur Maidah Perunisyah, Baba Neru (selaku mantri), dan Endang Winarti sebagai calo. Sedangkan seorang terdakwa lainnya yakni Kepala Unit Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kebon Baru, Dede Kurniansyah sidangnya berbeda, karena dia sebelumnya mengajukan eksepsi, dan agenda sidangnya putusan sela.

Dakwaan

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Arif Darmawan Wiratama SH MH mendakwa Dede Kurniansyah melakukan tindak pidana korupsi dan merugikan negara sebesar Rp19,38 miliar. Dugaan korupsi itu terjadi melalui praktik penyalahgunaan fasilitas Kredit Usaha Pedesaan Rakyat (KUPRA) pada periode Oktober 2022 hingga Desember 2023.

Dalam surat dakwaan Jaksa menyebut Dede Kurniansyah diduga memanipulasi data kredit sebanyak 436 debitur fiktif dengan melibatkan beberapa pegawai bawahannya dan seorang calo.

“Terdakwa secara melawan hukum menyalahgunakan penyaluran Kredit Usaha Pedesaan Rakyat (KUPRA) BRI Unit Kebon Baru tahun 2022–2023 bersama-sama dengan sejumlah saksi, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp19.380.116.632,” ujar Jaksa Arif Darmawan saat membacakan dakwaan, pada Rabu (22/10/2025) lalu.

Modus Kredit Fiktif

Modus operandi yang dilakukan terdakwa antara lain dengan menggunakan data identitas masyarakat (KTP, KK, foto) yang dikumpulkan oleh seorang calo bernama Endang Winarti. Para pemilik identitas hanya diberi uang kompensasi antara Rp500 ribu hingga Rp2 juta, sementara dana kredit dicairkan ke rekening mereka dan langsung ditarik kembali oleh pihak terdakwa.

Dalam proses tersebut, terdakwa memerintahkan para mantri dan customer service untuk memasukkan data palsu ke sistem BRISpot tanpa melakukan survei lapangan (on the spot). Bahkan, akad kredit dilakukan tanpa kehadiran debitur, hanya dengan menandatangani dokumen yang sudah disiapkan oleh pihak unit.

“Proses prakarsa dan pencairan dilakukan tanpa prosedur yang benar, dan seluruh dana hasil pencairan digunakan untuk kepentingan pribadi terdakwa serta pihak lain,” ucap Jaksa Arif dalam berkas dakwaan.

Selain terdakwa Dede Kurniansyah, kasus ini juga menyeret beberapa pegawai BRI Unit Kebon Baru lain yang turut membantu dalam proses pengajuan dan pencairan kredit. Mereka adalah Parlindungan Pasaribu, Nur Maidah Perunisyah, Baba Neru (selaku mantri), dan Endang Winarti sebagai calo.

Selain itu, beberapa pegawai lain seperti Aditya Martianda Happy dan Nita Primasela (Customer Service), serta Nadia Hilalia Lizar dan Sarah Amalia Putri (Teller), juga disebut berperan dalam proses pencairan dan penarikan dana kredit di luar prosedur.

Dalam aksinya, Dede diduga memerintahkan teller untuk menarik dana secara tunai dari rekening para debitur fiktif dan menyetorkannya kembali ke rekening lain guna menutupi angsuran kredit yang macet.

Laporan audit dari Kantor Akuntan Publik Mohammad Sanusi dan Rekan tertanggal 15 Juli 2025 menyebutkan, total kerugian negara akibat praktik ini mencapai Rp19,38 miliar.

Perbuatan terdakwa dinilai bertentangan dengan sejumlah ketentuan internal BRI dan peraturan pemerintah, seperti UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Peraturan Menteri BUMN PER-01/MBU/2011 jo. PER-09/MBU/2012 tentang Tata Kelola BUMN. Serta berbagai Surat Keputusan dan Edaran Direksi BRI mengenai pedoman kredit mikro, tata cara pencairan, dan prinsip kehati-hatian.

Atas perbuatannya, terdakwa Dede Kurniansyah dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

“Perbuatan terdakwa memperkaya diri sendiri atau orang lain serta merugikan keuangan negara,” tegas JPU.

Persidangan perkara korupsi penyaluran kredit fiktif ini akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi.(AS/Ram)