JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang tengah dibahas oleh Komisi III DPR RI, mendapat sorotan dari Keluarga Besar Purna Adhyaksa (KBPA), organisasi yang menaungi pensiunan pegawai dan jaksa.

Meskipun diakui terdapat sejumlah perubahan positif dalam draf tersebut, namun ada beberapa pihak, termasuk Ketua Umum Pengurus Pusat KBPA, Dr. Noor Rachmad, bersama Wakil Ketua KBPA Dr. Setia Untung Arimuladi SH M.Hum memberikan catatan kritis terkait isi dan proses pembahasannya.

Noor Rachmad mengungkapkan, meskipun secara umum RUU KUHAP berisi banyak perubahan yang baik, seperti penerapan Keadilan Restoratif dan penguatan perlindungan terhadap kelompok rentan, masih ada sejumlah poin yang memerlukan perhatian lebih. Salah satunya adalah adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam proses penyelidikan, terutama karena tidak adanya lembaga kontrol yang jelas.

“Saya kira prosesnya perlu lebih transparan, di mana publik bisa mengakses dan terlibat secara partisipatif,” tegas Noor Rachmad, yang juga mantan Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung (JAM Pidum) ini, pada Sabtu (29/3/2025).

Menurutnya, jika tidak dibahas dengan hati-hati dan melibatkan publik, RUU ini bisa berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis dalam proses peradilan pidana.

Selain itu, Noor Rachmad menyoroti pengaturan yang terlalu luas terkait peran penyelidikan tanpa adanya kontrol yang memadai. Ia mengingatkan Komisi III DPR RI untuk lebih mengakomodasi masukan dari berbagai kelompok masyarakat mengenai hal tersebut.

Ketua Umum KBPA ini juga mengkritisi penggunaan terminologi “Penyidik Kepolisian” yang disebut sebagai “Penyidik Utama” dalam RUU KUHAP, serta penyerahan berkas perkara dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) kepada Penuntut Umum yang harus melalui Penyidik Kepolisian. Menurutnya, hal ini memberikan kesan dominasi pihak Kepolisian dalam penanganan perkara pidana.

“Komisi III harus mampu mendefinisikan secara jelas peran penyidik kepolisian dalam RUU KUHAP. Jangan sampai ada kesan dominasi Kepolisian sebagai aparat penegak hukum utama dalam penanganan perkara pidana,” ujar Noor Rachmad.

KBPA juga menegaskan pentingnya untuk mempertimbangkan peran aktif Kejaksaan Agung dalam proses penyidikan, terutama dalam kasus tindak pidana korupsi. Kejaksaan Agung, menurut mereka, harus tetap memiliki kewenangan dalam penyidikan tindak pidana korupsi, sesuai dengan ketentuan dalam RUU KUHAP.

Dengan jumlah pasal yang mencapai 334, RUU KUHAP ini diharapkan dapat memberikan dasar yang kuat bagi sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun, berbagai catatan yang disampaikan oleh KBPA menunjukkan perlunya pembahasan lebih mendalam dan melibatkan berbagai pihak agar hasil akhirnya bisa lebih komprehensif dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat. (Ram)