SURABAYA – Presiden Republik Indonesia (RI) disurati Yayasan Trisila Surabaya, pihaknya menyurati Presiden RI tidak lain karena merasa terintimidasi oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Bahwa eksekusi atau pengosongan Yayasan Trisila Surabaya dianggap terlalu sewenang-wenangnya.

“Kami bersurat kepada Presiden, Ketua MA, Menteri BUMN supaya kasus ini jadi atensi. Karena apa, karena sekolah ini untuk mendidik masyarakat pada lapisan bawah. Itu yang semangat dan perjuangan kami dalam kasus ini. Tidak ada yang lain,” kata Kuasa Hukum Yayasan Trisila Surabaya, Sudiman Sidabukke pada Barometer, Selasa (14/1/2025).

Pihak yayasan menegaskan bahwa eksekusi boleh dilakukan asalkan bersamaan dengan ganti kerugian. Bukan eksekusi dulu, namun ganti rugi hanya dijanjikan. “Ganti rugi itulah yang kita harapkan untuk mengganti membuat sekolah di tempat yang lain. Bukan hanya pengosongan, tapi ganti kerugian hanya janji-janji,” terangnya.

Sidabukke menegaskan bahwa tuntutan ini bukan sekedar permintaan pihak yayasan, tetapi putusan yang memang diputuskan Mahkamah Agung (MA). “Yayasan Trisila hanya diberikan janji saja, meminta kami mencari lokasi, tapi sampai sekarang tidak diberikan,” jelasnya.

Sidabukke menerangkan, pada tahun 2019, Ketua PN Surabaya Nursyam meminta kepada yayasan untuk pengosongan. Namun, PN menegaskan kepada PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) selaku penggugat bahwa boleh dikosongkan, tapi juga harus ada ganti rugi. “Pada waktu itu, Ketua PN bilang, apabila tidak ada ganti rugi, PN tidak bisa melakukan eksekusi. Nah, sampai sekarang tidak ada ganti rugi,” ungkapnya.

Ia juga menyatakan bahwa kondisi saat ini di yayasan muridnya tinggal sedkit, guru juga sedikit. “Murid tinggal 5 anak, Guru juga tinggal sedikit. Saya rasa meraka ini terintimidasi. Murid tidak bisa masuk gerbang karena dikuasai oleh Rajawali (PT RNI),” tambahnya.

“Semua tidak bisa masuk, lalu diprovokasi, sehingga banyak wali murid yang memindahkan anaknya ke sekolah lain. Saat itu bangunan di yayasan tersebut dibangun sejak tahun 1966. Namun, sejak adanya ketua PN yang baru, di akhir Desember 2024 malah melakukan konstatering ke lapangan,” terangnya.

Menurutnya hal itu dalam rangka eksekusi. “Namun, kepala panitera PN bilang, ini dieksekusi dulu, uang ganti ruginya menyusul. Nah, di situ saya keberatan. Oke, kalian laksanakan, tapi sesuai amar putusan, bahwa harus bersamaan. Kosongkan dan harus disertai ganti kerugian,” pungkasnya.(Am)