SURABAYA – Pusat Mediasi & Resolusi Konflik (PMRK) menggelar seminar bertema “Penguatan Peran Mediator Non-Hakim” di Lembaga Peradilan sangat lah penting dalam Upaya Mewujudkan Keadilan Restoratif, di Southern Hotel Surabaya, Sabtu (26/4/2025) pagi.

Kegiatan seminar tersebut sekaligus melantik Prof. Dr. Mokhammad Khoirul Huda sebagai Ketua PMRK yang baru, menggantikan Prof Dr. Basuki R Wibowo. Kegiatan tersebut telah menghadirkan empat narasumber dari beberapa pihak terkait, serta digelar secara online dan offline.

Empat narasumber itu ialah Basuki R Wibowo, Ketua PMRK; Edy Budianto, Kepala Seksi Teroris pada Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur; Kombes Pol Sugeng Riyadi, Kabid Hukum Polda Jatim dan Marsudin Nainggolan, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya.

Dalam pembahasannya, Basuki mengatakan mediator adalah profesi masa depan yang sangat penting, karena dapat mengurangi beban perkara di kepolisian maupun di pengadilan.

“Sekarang ini di pengadilan beban perkaranya terus meningkat, baik di tingkat pertama, banding hingga kasasi. Ketika perkara itu bisa diselesaikan dengan damai diluar pengadilan, itu luar biasa,” katanya.

Sementara itu, mungkin masyarakat sudah mengetahui bila Kepolisian dan Kejaksaan memiliki program Restoratif Justice (RJ). Menurutnya, kinerja mediator tak akan bertabrakan dengan program tersebut.

“Kalau bertabrakan, enggak. Di kepolisian memang ada Perpol, di jaksa ada Perja. Para mediator ini bisa dimanfaatkan oleh kepolisian maupun kejaksaan untuk menengahi pelapor dan terlapor,” tambahnya.

Basuki menilai bahwa Polisi dan Jaksa cukup sulit memposisikan diri sebagai mediator. Sehingga, apabila dibantu mediator, maka pihak yang bersengketa akan cepat mencapai titik perdamaian.

“Mediator itu independen, bukan sub dari pengadilan, bukan sub dari polisi atau kejaksaan. Prinsipnya mediator tidak boleh memihak,” paparnya.

Soal honorarium, Basuki menjelaskan menurut Perma 1 tahun 2016, honorarium itu berdasar kesepakatan pihak yang bersengketa, dan sudah disepakati sebelum penanganan mediasi.

“Kalau disepakati honor Rp 10 ribu, bisa masing-masing Rp 5 ribu. Masyarakat kita belum sampai situ, dan berpikir kalau ke pengacara itu bayar dan ke mediator enggak,” jelasnya.

Sementara Dewan Pembina PMRK, Prof. DR. Hesti Armiwulan menambahkan, semua perkara yang masuk ke pengadilan itu harus dilakukan terlebih dahulu mediasi, bahkan di Mahkamah Agung itu sudah menjadi kewajiban

“Misalkan Pemilu kemarin, itu di UU Pemilu, Bawaslu dalam menyelesaikan perkara Pemilu sebaiknya ditempuh melalui mediasi. Jadi mediasi itu kedepannya atau saat ini jadi sebuah profesi yang harus dipahami masyarakat,” tambahnya.

Menurutnya, mediator itu tidak ada keharusan background sarjana hukum, baik dia yang pendidikannya S1 maupun tidak tapi dia tokoh masyarakat ini bisa menjadi mediator asal paham dengan permasalahan yang tengah ditangani. “Di desa, kalau ada permasalahan itu kepala desa bisa berfungsi sebagai mediator. Jadi tidak perlu sengketa itu dibawa ke pengadilan,” ungkapnya.

Suatu contoh, ketika mediator memediasi konflik masyarakat tertentu, dia harus paham karakter, budaya, psikologi dan kecenderungan masyarakat yang sedang bersengketa tersebut. “Dia harus mengikuti pelatihan dan dalam pelatihan itu ada ujiannya. Ketika dinyatakan lulus, maka dia berhak jadi mediator profesional,” pungkasnya.(Am)