BANDUNG – Suasana ruang sidang di Pengadilan Negeri (PN) Bandung Kelas IA Khusus memanas saat majelis hakim menetapkan penahanan terhadap terdakwa Miming Theniko (MT) pada Kamis (24/4/2025).

Sidang yang dipimpin hakim Tuty Haryati sempat dihentikan selama 10 menit, akibat perdebatan sengit antara majelis hakim dan Tim Kuasa Hukum MT. Pasalnya, keputusan penahanan ini langsung memicu protes dari tim penasehat hukum terdakwa, yang menyebut proses penetapan tersebut tidak mencerminkan prinsip keadilan.

Bahkan, pihak penasehat hukum menyebut majelis hakim tidak adil dan menunjukkan ketimpangan perlakuan hukum terhadap permohonan penahanan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan permohonan penangguhan penahanan yang diajukan tim penasehat hukum terdakwa.

“Saya merasa ini sangat tidak adil, kalau ini terjadi pada saya, saya bisa terima. Tapi jangan sampai ketidak adilan seperti ini menimpa kepada orang lain,” ujar terdakwa MT dengan suara bergetar.

Randy Raynaldo, salah satu Tim Penasehat Hukum MT, menjelaskan bahwa permohonan penahanan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) diajukan pada tanggal 16 April 2025, lalu langsung ditetapkan oleh hakim pada tanggal 17 April 2025, di hari yang sama saat sidang digelar.

“Kami kecewa karena ketika kami mengajukan permohonan penangguhan penahanan pada hari yang sama, tanggal 17 April 2025 , Majelis Hakim justru menyatakan belum menerima surat tersebut, padahal surat itu sudah kami serahkan resmi ke PTSP dan ada bukti tanda terimanya,” tegas Randy.

Ia juga mempertanyakan urgensi penahanan terhadap kliennya, mengingat MT telah dinyatakan bebas melalui Putusan Peninjauan Kembali (PK) sebelumnya, dan selama proses hukum berlangsung dinilai kooperatif. .

Keputusan penahanan ini tidak hanya mengusik rasa keadilan, tapi juga menyisakan sejumlah kejanggalan yang tak bisa diabaikan.

Penahanan dilakukan saat perkara memasuki babak akhir dimana seluruh saksi sudah diperiksa dan berakhir dengan agenda pemeriksaan terdakwa.

Di fase ini, apa urgensinya menahan seseorang yang selama ini tidak pernah mangkir, melarikan diri dan menghilangkan barang bukti.

Pengadilan seharusnya menjadi ruang dialog yang adil dan seimbang, bukan tempat dimana suara para pencari keadilan dibungkam secara sistematis.

Dr. Yopi Gunawan, S.H., M.H., M.M., salah satu tim kuasa hukum terdakwa MT, menyoroti aspek kemanusiaan dalam kasus ini.

Menurutnya, terdakwa MT saat ini menderita penyakit tumor ganas, dan oenetapan penahanan yang dilakukan oleh majelis hakim justru menghambat proses kontrol medis yang harus dijalani secara berkala.

“Kami lampirkan surat keterangan medis dalam permohonan penangguhan. Ini bukan hal yang bisa dianggap sepele, terkait penyakit tumor ganas yang butuh perawatan secara intensif. Kami bahkan siap memberikan uang jaminan, selain istri MT selaku penjamin ,” ujar Dr. Yopi Gunawan.

Dr. Yopi Gunawan menambahkan, dalam konteks persidangan yang sudah memasuki tahap akhir, tinggal menunggu tuntutan, pembelaan, dan putusan, seharusnya penahanan tidak lagi menjadi prioritas.

“Alasan permohonan penahanan JPU hanya soal efektivitas dalam persidangan.l, padahal klien kami datang tepat waktu, hal Ini menunjukkan jalannya persidangan sudah efektif. Kami akan terus berjuang untuk mengajukan permohonan penangguhan penahanan atau pengalihan tahanan kepada Majelis Hakim,” pungkasnya.

Sejarah akan mencatat satu babak kelam dalam perjalanan hukum Indonesia, dimana seorang pria lansia berusia 70 Tahun, MT yang tengah berjuang melawan berbagai penyakit kronis, harus masuk jeruji besi.

Namun kini, ia dikriminalisasi, ditahan dan dijauhkan dari keluarga semua karena manuver hukum yang dipaksakan. Saat ini MT tengah berjuang melawan penyakitnya yang tergolong kronis, riwayat operasi kanker ginjal, potensi kanker prostat, penurunan fungsi ginjal, dan usia lanjut, Penangguhan penahanan MT seharusnya menjadi pertimbangan Majelis Hakim.

Sidang yang sempat diskors karena perdebatan soal penahanan akhirnya dilanjutkan kembali, namun ketegangan tetap terasa, pihak terdakwa menganggap proses persidangan kini semakin berat sebelah, dengan penahanan yang dinilai tidak berlandaskan urgensi hukum yang jelas.

Kasus ini kembali mengundang perhatian publik karena mencerminkan bagaimana prinsip keadilan prosedural dan substansial diuji di ruang pengadilan.

Substansi dan Fakta Hukum

Keadilan dalam persidangan dipertanyakan Ricky Febryanto Simatupang, S.H., M.H. salah satu tim kuasa hukum MT, menyatakan pendapat terkait lamanya waktu musyawarah yang dilakukan oleh majelis hakim terhadap permohonan penangguhan penahanan yang mengandung substansi dan fakta hukum yang cukup banyak yang tentunya perlu diperhatikan secara seksama.

Akan tetapi majelis hakim kenyataanya hanya mangambil waktu yang relatif singkat kurang lebih hanya 10 menit saja yang hasilnya pun ditolak atau tidak dikabulkan. Namun, berbeda dengan permohonan yang diajukan oleh Penuntut Umum dimana dalam waktu kurang dari 24 jam saja langsung dikabulkan dengan keluarnya penetapan penahanan.

“Sehingga disini jelas timbul keraguan apakah persidangan atas perkara ini ditangani secara adil atau secara tidak berpihak” ujarnya.

Proses persidangan yang sedang dijalani oleh MT di Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA Khusus dengan Nomor Register Perkara 786/ Pid. B/ 2024/ PN. Bdg kini sudah di penghujung, dimana agenda persidangan sudah memasuki agenda penuntutan. Tapi baru saja MT menikmati udara bebas dalam perkara yang sudah diputus melalui Permohonan Peninjauan Kembali Nomor 71/ PK/Pid/ 2025 yang diputus pada tanggal 10 April 2025 di Pengadilan Negeri Bale Bandung, kini harus kembali mendekam dibalik jeruji besi.

Terlebih penahanan ini dilandasi oleh permohonan dari Jaksa Penuntut Umum agar persidangan yang sedang berjalan di Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA Khusus dapat berjalan secara efektif, dan mempermudah menjalankan eksekusi apabila MT dinyatakan memang Terbukti Bersalah.

Betapa menyedihkannya penegakan hukum di Indonesia, tanpa memperhatikan asas Persumtion of innocence (praduga tak bersalah) MT justru diperlakukan seolah-olah memang pelaku kejahatan, tanpa mempertimbangkan rasa kemanusiaan bagi MT yang sedang menderita sakit kronis.

Oleh karena itu patut diapresiasi sikap terdakwa MT yang selalu kooperatif, dan menerima hasil musyawarah majelis hakim mengenai penetapan penahanan terhadap dirinya, walaupun dengan banyak kejanggalan-kejanggalan yang terjadi.

“Kiranya Majelis Hakim dapat menjadi wakil Tuhan dalam melaksanakan persidangan yang luhur,dan memberikan putusan yang seadil-adilnya,” pungkas Ricky. (Budi)