KUTAI KARTANEGARA— Kasus dugaan tambang ilegal di kawasan hutan Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Kaltim), menuai tanda tanya. Pasalnya, aktivitas tambang batu bara yang diduga dilakukan oleh operator dan sopir alat berat dari PT Rinjani Kartanegara, perusahaan yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terus menuai sorotan setelah penyidik Polres Kutai Kartanegara diduga menghentikan penyidikan tanpa kejelasan.

Peristiwa terjadi pada Selasa, 2 September 2025, ketika aktivitas penggalian batu bara terdeteksi di kawasan hutan Loa Kulu. Aparat Polres Kutai Kartanegara yang turun ke lokasi kemudian menangkap sejumlah operator dan sopir alat berat serta memasang garis polisi (police line) di area tambang.

Ironisnya, seluruh pelaku dan barang bukti dikabarkan dilepaskan kembali tanpa proses hukum lanjutan. Keputusan tersebut menimbulkan tanda tanya publik, mengingat PT Rinjani Kartanegara secara hukum sudah berstatus pailit, sehingga seharusnya seluruh asetnya berada di bawah kurator dan tidak dapat digunakan untuk kegiatan operasional, apalagi aktivitas penambangan.

Ketua DPD AKPERSI Kaltim, Dedison menduga adanya “pengkondisian” dalam kasus ini, baik terhadap pelaku, barang bukti, maupun proses penyidikan itu sendiri.

“Kami menilai ada upaya menutupi fakta hukum. Mengapa perusahaan pailit bisa kembali beroperasi? Siapa yang memfasilitasi pelepasan pelaku dan alat berat? Dan mengapa penyidikan tidak berlanjut secara transparan?” ujar Dedison.

DPD AKPERSI Kaltim berencana menyurati Polda Kalimantan Timur untuk meminta penjelasan resmi terkait sikap Polres Kutai Kartanegara dan mendesak agar proses hukum dilanjutkan secara terbuka tanpa pandang bulu.

Selain aspek hukum, aktivitas tambang ilegal tersebut menimbulkan dampak serius bagi masyarakat sekitar. Warga Loa Kulu mengeluhkan debu, kebisingan, serta kerusakan hutan yang menjadi penyangga lingkungan. Mereka menuntut adanya ganti rugi lingkungan dan pemulihan ekosistem yang rusak akibat kegiatan penggalian tersebut.

“Kami tidak tahu siapa yang bertanggung jawab, tapi yang jelas kami yang merasakan dampaknya,” kata salah satu warga Loa Kulu yang enggan disebut namanya.

Keheningan Aparat

Hingga berita ini diturunkan, Kapolres Kutai Kartanegara belum memberikan keterangan resmi terkait alasan pelepasan pelaku dan barang bukti. Upaya konfirmasi dari awak media juga belum mendapat tanggapan.

DPD AKPERSI Kaltim bersama masyarakat menuntut agar aparat penegak hukum melakukan langkah-langkah konkret: Mempublikasikan hasil penyidikan secara terbuka: siapa yang ditangkap, barang bukti apa yang disita, dan alasan pelepasan.

Selain itu, mengusut semua pihak yang terlibat, termasuk kemungkinan adanya oknum aparat atau pihak perusahaan yang memfasilitasi kegiatan tambang.

Menegakkan hukum lingkungan dan memastikan pemulihan kawasan hutan serta ganti rugi bagi warga terdampak.

Menjamin transparansi proses hukum, agar status pailit perusahaan tidak dijadikan tameng untuk menghindari tanggung jawab pidana.

Kasus ini menjadi cermin ujian bagi penegakan hukum di daerah sumber daya alam. Jika penyidikan berhenti di tengah jalan, publik akan menilai bahwa hukum bisa tumpul ke atas namun tajam ke bawah.(AS)