Utamakan Kepentingan Negara, PN Jakpus Tolak Gugatan Bank Artha Graha dalam Kasus Korupsi Timah
JAKARTA — Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menolak gugatan keberatan yang diajukan PT Bank Artha Graha Internasional Tbk terhadap penyitaan aset PT Refined Bangka Tin (RBT) oleh Kejaksaan Agung dalam kasus mega korupsi timah.
Putusan ini dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Sunoto, S.H., M.H., didampingi hakim anggota Purwanto Abdullah, S.H., M.H., dan Novalinda Arianti, S.H., M.H., dalam sidang yang digelar di PN Jakpus, Senin (14/7/2025).
Dalam amar putusannya, majelis hakim menegaskan bahwa Bank Artha Graha tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak ketiga yang beritikad baik dalam perkara ini. Bank tersebut hanya merupakan pemegang jaminan fidusia atas aset milik PT RBT, bukan pemilik sah.
“Pengertian ‘barang milik pihak ketiga’ dalam konteks tindak pidana korupsi merujuk pada kepemilikan langsung, bukan hak jaminan,” tegas majelis hakim dalam pertimbangannya.
Diduga Lalai dalam Pemberian Kredit
Bank Artha Graha tercatat memberikan fasilitas kredit kepada PT RBT senilai Rp 137 miliar dan USD 11 juta sejak 2016. Namun, pengadilan menilai pemberian kredit tersebut dilakukan tanpa uji tuntas (due diligence) yang memadai.
Majelis menyebut terdapat empat pelanggaran prinsip kehati-hatian oleh pihak bank, seperti tidak memeriksa legalitas operasi PT RBT. Lalu tidak memverifikasi RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya)
Selain itu memberikan kredit setelah perubahan kepemilikan perusahaan dan gagal mengawasi penggunaan dana pinjaman
“Salah satu saksi dari bank bahkan mengakui bahwa pihaknya tidak memeriksa dokumen RKAB, yang merupakan syarat vital dalam kegiatan pertambangan,” ungkapnya.
Meskipun tidak terlibat langsung dalam praktik korupsi, majelis hakim menilai Bank Artha Graha memiliki keterkaitan faktual dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Suparta (Dirut PT RBT), Harvey Moeis, dan Reza Andriansyah.
Fasilitas kredit yang diberikan oleh bank, kata Majelis Hakim dinilai memperkuat operasional ilegal PT RBT. Selain itu, bank juga dinilai menerima manfaat berupa bunga kredit dari aktivitas yang sebagian besar bersumber dari hasil kejahatan.
Dalam putusan tersebut, majelis hakim menggunakan asas hukum lex specialis, di mana Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengesampingkan Undang-Undang Jaminan Fidusia.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 juga menjadi rujukan, yang menegaskan bahwa pemberantasan korupsi memiliki nilai konstitusional yang lebih tinggi dibanding kepentingan perdata.
Kerugian Negara Jauh Lebih Besar
Majelis juga menyoroti perbedaan yang sangat besar antara nilai klaim Bank Artha Graha dan kerugian negara. Klaim bank mencapai Rp 223 miliar dan USD 11 juta, sedangkan kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan mencapai Rp 300 triliun, dengan Suparta disebut menerima aliran dana senilai Rp 4,57 triliun.
“Terdapat ketimpangan signifikan antara kepentingan pemohon dengan kepentingan negara,” tulis majelis dalam pertimbangan putusan.
Aset yang tetap dirampas untuk negara meliputi pabrik peleburan (smelter), kendaraan operasional, produk logam timah dan aluminium, serta peralatan produksi milik PT RBT yang berada di Jelitik, Bangka.
Pengadilan menyatakan seluruh penyitaan tersebut sah menurut hukum berdasarkan putusan banding sebelumnya. (Ram)