SURABAYA – Handoko Wibisono selaku pemohon eksekusi mempertanyakan keabsahan klaim kepemilikan yang diajukan oleh Pudji Rahayu dan Tri Kumala Dewi, serta menyoroti beberapa kejanggalan yang dinilai tidak selaras dengan putusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, terkait sengketa eksekusi rumah di Jalan Dr. Soetomo No. 55, Surabaya. Hal itu pun kembali mencuat.

Sorotan itu di ungkapkan oleh tiga kuasa hukum Handoko Wibisono yakni Iko Kurniawan, Reno Suseno, dan Benny Abadi. Ketiga advokat ini menyoroti atas dugaan sejumlah kejanggalan dalam proses hukum yang berlangsung, dan klarifikasi perbandingan terkait beberapa putusan PK mengenai obyek sengketa.

Iko Kurniawan menyoroti munculnya perlawanan eksekusi yang diajukan Pudji Rahayu, yang mengklaim telah membeli rumah tersebut dari Tri Kumala Dewi berdasarkan surat pengikatan jual beli tertanggal 8 Januari 2021. “Anehnya kenapa selama ini dia enggak muncul sebagai pihak yang bertindak selaku intervensi padahal sebelum eksekusi ada beberapa perkara yang berjalan? Logikanya kalau kita beli rumah sudah cash Rp 7 miliar, eh tiba-tiba mau dieksekusi dan ternyata ada beberapa perkara dan kita tidak diberitahu hal tersebut oleh Penjual, apa enggak kecewa kita? apapun itu kami menilai itu sebagai kejanggalan,” ujarnya, pada wartawan, Rabu (26/3/2025).

Ia menegaskan bahwa kepemilikan Handoko atas rumah di Jalan Dr. Soetomo No. 55 sudah jelas berdasarkan bukti dan fakta yang ada. Iko mengungkapkan, pangkal pertama adalah eigendom verponding tanggal 21 Desember 1929 Nomor 1300. Kemudian pada 14 Mei 1969, eigendom verponding itu didaftarkan ke Kepala Kantor Pendaftaran dan Pengawasan Pendaftaran Tanah Kota Surabaya dan terbit SHGB Nomor 651. “Lalu sertifikat tersebut menjadi objek jual beli pertama kali melalui Akta Jual Beli Nomor 77 Tahun 1972 tanggal 19 September 1972 antara Bouw En Handel Maatschappij Tjay Hiang dan Dokter Hamzah Tedjasukmana. Setelah berjalannya waktu, oleh Dokter Hamzah obyek rumah dijual ke Tina Hinderawati Tjoanda di tahun 1992. Kemudian pada 2007, oleh Tina Hinderawati Tjoanda dijual lagi ke Rudianto Santoso. Kemudian yang terakhir oleh Rudianto obyek dijual ke klien kami yakni Handoko Wibisono pada November 2016,” ungkapnya.

Selain itu, Iko juga menyoroti klaim kepemilikan oleh Tri Kumala Dewi yang disebut-sebut berdasarkan putusan PK. “Anehnya, dalam perkara nomor 195/Pdt.G/2024/PN.Sby, Tri Kumala Dewi dalam positanya nomor 8 malah mendalilkan bahwa dirinya adalah pemilik atas objek tanah dan bangunan berdasarkan putusan PK. Padahal, di dalam amar putusan PK nomor 351 PK/Pdt./1997 dan nomor 68 PK/Pdt/2013 enggak ada yang menyatakan dia sebagai pemilik,” katanya.

Menurut Iko, sikap TNI AL dalam persidangan. “Dalam persidangan perkara nomor 195/Pdt.G/2024/PN.Sby, Angkatan Laut selaku turut tergugat itu tidak mengajukan hak jawabannya. Saya enggak tahu kenapa, ya. Mereka hadir saat mediasi, tapi enggak mengajukan jawaban. Tapi mereka juga hadir saat pemeriksaan saksi,” ucapnya.

Sementara itu, Reno Suseno menyoroti adanya kejanggalan dalam konsinyasi yang diajukan oleh Tri Kumala Dewi. “Dari konsinyasi yang diajukan oleh Ibu Tri Kumala itu menunjukkan bahwa dia adalah penyewa. Pada saat itu, pengajuan pembelian atas objek sengketa ini tidak pernah disetujui. Kenapa bisa saya bilang begitu? Karena satu hal, kenapa konsinyasi ini bisa sampai tiga kali? Harusnya kalau memang dari pemilik sebelumnya sudah menyetujui adanya pembelian yang dilakukan oleh Ibu Tri Kumala, tidak perlu mengajukan sampai tiga kali konsinyasi,” jelasnya.

Reno juga menyoroti putusan PK yang dimenangkan oleh Tri Kumala Dewi dan membandingkannya dengan putusan PK yang diajukan oleh kliennya. “PK Nomor 351 PK/Pdt/1997 itu tidak memberikan kepastian hukum terhadap salah satu pihak atas objek sengketa. Seharusnya putusan PK menyebutkan secara pasti siapa pemiliknya, apakah Dr. Hamzah atau Tri Kumala. Tapi putusan PK ini tidak menyebutkan sama sekali,” ungkapnya.

Hal serupa juga terjadi pada PK tahun 2013 antara Tri Kumala Dewi dengan Rudianto Santoso. “Dalam amar putusannya, tidak ada satu pun yang menyatakan bahwa Tri Kumala Dewi adalah pemilik yang sah,” katanya.

Reno membandingkan dengan putusan PK Nomor 1130 PK/Pdt yang berkaitan dengan putusan perkara nomor 391/Pdt.G/2022/PN.Sby yang diajukan Handoko Wibisono. “Dalam putusan itu disebutkan secara jelas bahwa permohonan peninjauan kembali dari Tri Kumala Dewi ditolak, dan klien kami mendapatkan kepastian hukum bahwa gugatannya dikabulkan dan memiliki kekuatan hukum tetap,” ujarnya.

Reno juga mempertanyakan klaim bahwa rumah tersebut merupakan aset yang berkaitan dengan pahlawan nasional Yos Sudarso. “Kalau memang itu rumah peninggalan Yos Sudarso, kenapa terbit Surat Izin Pembelian Nomor DAERAL-4.11100/3/72 tertanggal 17 Maret 1972? Isinya menyatakan bahwa Bapak Subroto Judono, ayah dari Ibu Tri Kumala, mendapatkan izin untuk melakukan pembelian. Tapi dalam surat tersebut juga ada klausul yang menyatakan bahwa pembelian harus diatur dan diselesaikan sendiri dengan pemilik tanah, dalam hal ini pemilik tanah awal adalah ouw En Handel Maatschappij Tjay Hiang kemudian dokter Hamzah. Artinya kalau rumah itu memang rumah peninggalan pahlawan Yos Sudarso, kenapa ada klausul seperti ini?” ungkapnya.

Saat ditanya terkait kapan rencana eksekusi yang ketiga kalinya, Iko menyatakan pihaknya akan berkoordinasi lebih dulu dengan tim kuasa hukum. “Intinya kami all out-lah. Kita ini kan negara hukum ya. Kami juga menilai bahwa percuma kalau klien kami hanya menang di atas kertas saja. Insya Allah kami optimis (eksekusi bisa dilakukan),” pungkasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, rencana PN Surabaya melakukan eksekusi rumah di Jalan Dr. Soetomo No. 55, Surabaya akhirnya ditunda. Penundaan ini lantaran eksekusi tersebut ditolak oleh ratusan anggota GRIB Jaya Jawa Timur yang membela penyewa rumah, Tri Kumala Dewi.(Am)