Eksepsi M Adhiya Muzakki, Erman Umar: Surat Dakwaan Obscuur Libel
JAKARTA – Sidang lanjutan kasus dugaan perintangan penyidikan dengan terdakwa M. Adhiya Muzakki, kembali digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Rabu (29/10/2025), dengan agenda eksepsi.
Dalam eksepsinya, Erman Umar selaku kuasa hukum Adhiya Muzakki menyampaikan keberatan dalam surat dakwaan No. Reg. Perk: PDS- 48/M.1.10/Ft.1/07/2025 tersebut. Menurutnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) gagal dalam memahami, menguraikan, dan menghubungkan antara tindakan terdakwa dengan Pasal yang didakwakan, karenanya surat dakwaan mengandung isi yang tidak cermat, tidak jelas, kabur, dan/atau tidak terang (obscuur libel).
“Bahwa Surat Dakwaan tersebut mengandung isi yang tidak cermat, tidak jelas, kabur, dan/atau tidak terang (obscuur libel), dikarenakan Jaksa Penuntut Umum mencantumkan peristiwa hukum terkait terdakwa Juneidi Saibih dan terdakwa Tian Bachtiar yang tidak berhubungan terhadap Terdakwa. Sehingga isi Dakwaan tersebut menjadi tidak jelas dan dapat merugikan terdakwa,” ujar Erman Umar dalam siaran persnya.
Menurut Erman dalam Surat Dakwaan pada halaman dua menerangkan bahwa Marcella Santoso dan Junaedi Saibih membuat dan merencanakan rekayasa non yuridis di luar persidangan dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi pada pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit dengan terdakwa atas nama korporasi Permata Hijau Group, Wilmar Group dan Musim Mas Group
“Bahwa pernyataan tentang membuat dan merencanakan rekayasa non yuridis adalah Marcella Santoso dan Junaedi Saibih, dan hal tersebut jelas tidak ada hubungannya dengan Terdakwa M. Adhiya Muzakki,” ungkapnya.
Kemudian dalam surat dakwaan kata Erman juga menerangkan Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Tian Bachtiar membuat program acara TV Jak Forum di JAKTV dengan tujuan membentuk opini publik bahwa penanganan perkara tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya merupakan kriminalisasi yang dilakukan oleh Kejaksaan kepada para Terdakwa korporasi migor, yang disiarkan melalui chanel youtube jaktvofficial dan TikTok dengan akun jaktvofficial dan jaktvnewsroom.
“Dalam hal ini secara jelas Jaksa Penuntut Umum telah menggabungkan dugaan Pidana pihak lain dalam perkara Terdakwa. Sehingga tidak terfokus terhadap Terdakwa M. Adhiya Muzakki, sehingga Terdakwa kesulitan memahami maksud dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum,” katanya.
Menurut Erman Umar penggabungan dua perkara yang berbeda merupakan tindakan yang fatal dari JPU. “Bahwa uraian Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaan mengenai dugaan tindak pidana tersebut, terdapat dua peristiwa yang tidak memiliki keterkaitan dengan uraian peristiwa yang dilakukan Terdakwa M. Adhiya Muzakki. Sangat bahwa Terdakwa tidak pernah bertemu dan/ atau berkomunikasi dengan saudara Junaedi Saibih maupun Tian Bachtiar,” katanya.
Sedangkan terkait Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan bahwa perbuatan Terdakwa M. Adhiya Muzakki, Marcela Santoso, Junaedi Saibih, dan Tian Bachtiar merupakan satu rangkaian perbuatan sebab akibat yang memiliki persesuaian secara utuh, adalah pernyataan yang tidak tepat.
Ekspresi Pendapat, Bukan Perintangan Proses Hukum
Lebih lanjut Erman Umar menyatakan bahwa tindakan Terdakwa tersebut merupakan suatu bentuk kebebasan berpendapat dan berekspresi. Alangkah naif jika kebebasan berpendapat dan berekspresi pada era saat ini diasosiasikan dalam suatu bentuk tindak pidana,.
“Bahwa menyampaikan pendapat di media sosial bukanlah bentuk perintangan penyidikan, melainkan ekspresi kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi. Kebebasan berpendapat dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, Pasal 23 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan Pasal 19 ayat (2) ICCPR (diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005),” katanya.
Selain itu Erman Umar mengungkapkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-VI/2008, “Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak asasi yang menjadi sendi utama dalam negara hukum demokratis, dan hanya dapat dibatasi oleh hukum yang jelas serta proporsional.”
Dengan demikian, lanjut Erman Umar, penerapan Pasal 21 UU Tipikor terhadap ekspresi pendapat Terdakwa merupakan bentuk penyimpangan penerapan hukum (eror in objecto) dan kriminalisasi terhadap hak konstitusional.
Dalam surat dakwaannya, Imbuh Erman JPU menjelaskan bahwa Terdakwa membuat konten dan narasi tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum di persidangan, itu menandakan bahwa sebelum konten mengenai keterangan ahli itu dibuat oleh Terdakwa, maka semua pihak di persidangan telah mendengar terlebih dahulu apa yang disampaikan oleh ahli.
“Sehingga hal tersebut tidak memiliki keterkaitan antara konten yang dibuat Terdakwa dengan mempengaruhi jalannya persidangan, apalagi mencegah, merintangi, atau menggagalkan proses persidangan,” tandas Erman Umar.(Amri)


 
													 
							 
							 
							 
							 
							 
							 
							 
							 
							