Dr Suyud Margono: Unsur Visual Merek jadi Kunci Perlindungan Hukum
JAKARTA – Sidang lanjutan perkara pidana merek No. 59/Pid.Sus/2025/PN.Jkt.Tmr kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim), Kamis (22/5/2025), dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli dari pihak terdakwa, yakni Dr. Suyud Margono, S.H., M.Hum., FCIArb, yang juga pakar hukum kekayaan intelektual.
Dalam persidang ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Ni Made Punami, didampingi hakim anggota Heru Kuncoro dan Arif Yudiarto, dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Tutur Sagala.
Dalam keterangannya di persidangan, Dr. Suyud menegaskan bahwa perlindungan merek di Indonesia menganut asas registrasi konstitutif, yakni perlindungan hukum hanya diberikan terhadap bentuk, logo, warna, dan unsur visual lain yang secara eksplisit tercantum dalam sertifikat merek.
“Merek tidak dapat dipisahkan dari satuan visual yang menyertainya. Jika terdapat perbedaan antara merek yang digunakan di pasar dengan yang terdaftar, misalnya pada warna atau bentuk huruf, maka perlindungannya bisa gugur secara hukum,” ujar Dr. Suyud dalam persidangan, Kamis (22/5/2025).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Pasal 100 dan 102 dalam Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis merupakan delik aduan, sehingga penegakan hukumnya mensyaratkan adanya laporan dan bukti kerugian nyata.
“Dengan demikian, dugaan pelanggaran merek tidak otomatis masuk ke ranah pidana tanpa adanya unsur kerugian yang jelas serta ketidaksesuaian dengan etiket resmi yang terdaftar,” ungkap Suyud.
Berdasarkan hal itu, kuasa hukum terdakwa, Topan Oddye Prastyo, S.H M.H menyambut baik keterangan ahli tersebut. Ia menilai keterangan itu sangat relevan dan memperkuat posisi hukum kliennya.
“Keterangan dari ahli membuktikan bahwa klien kami menggunakan merek yang saat itu sah secara hukum. Bahkan jika ada kesamaan kata seperti ‘polo’, itu merupakan kata generik yang tidak bisa diklaim eksklusif tanpa bukti kerugian dan kemiripan menyeluruh sebagaimana diatur dalam Pasal 100,” ujar Topan kepada pewarta usai sidang.
Topan juga mengungkapkan bahwa pihak pelapor justru menggunakan etiket dengan warna yang berbeda dari yang terdaftar dalam sertifikat merek. Ia menambahkan, permohonan perubahan warna merek tersebut bahkan telah ditolak oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).
“Maka sangat janggal jika klien kami yang justru dituduh melakukan penjiplakan, sementara pelapor sendiri tidak konsisten dengan etiket yang terdaftar,” pungkasnya.
Sidang lanjutan dijadwalkan akan digelar pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi tambahan dari kedua belah pihak. (Ram)