SURABAYA – Identik warna merah di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina di Surabaya di persoalkan. Pasalnya dengan identik warna merah itu menjadi polemik atas penetapan pajak reklame.

Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) menilai dasar penarikan pajak atas tampilan kanopi SPBU, khususnya yang berwarna merah (List Plang), tidak objektif dan tidak proporsional serta tidak berdasar.

Ben Hadjon selaku Legal Hiswana Migas DPC Surabaya, mengatakan bahwa masalah ini berawal dari penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) pada tahun 2023 yang menghitung pajak reklame di SPBU Pertamina di Surabaya secara mundur hingga lima tahun ke belakang, yakni sejak 2019.

Hiswana Migas telah mengajukan keberatan melalui surat sebanyak empa kali, namun dari empat surat keberatan tersebut hanya dua surat yang mendapat tanggapan dari Pemkot Surabaya yang pada pokoknya menolak keberatan dari Hiswana Migas dengan alasan merujuk pada Pasal 1 angka 39 Peraturan Daerah (Perda) Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2023. “Norma yang menjadi rujukan ternyata bersifat abstrak dan tidak konkret. Hal ini memicu polemik karena setiap pihak bisa memiliki penafsiran berbeda,” ujar Ben Hadjon, Rabu 06/08/25.

Ia juga menyoroti penerapan pajak mundur sejak 2019, padahal Perda Nomor 7 Tahun 2023 baru berlaku pada tahun tersebut, yakni tahun 2023. “Ini jelas melanggar asas larangan berlaku surut (Retrokatif). Bagaimana mungkin aturan yang baru keluar di 2023 diterapkan untuk menagih pajak sejak 2019?,” tegasnya.

Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi B DPRD Kota Surabaya pekan lalu, Hiswana Migas menghadirkan ahli Dr. Titik Puji Rahayu, S.Sos, M.Kom, PhD, Kepala Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga. Ia menegaskan bahwa warna merah pada kanopi SPBU Pertamina bukan bagian dari logo komersial atau promosi.

“Warna merah itu melambangkan identitas negara, merah-putih, karena Pertamina adalah BUMN. Menafsirkan warna ini sebagai reklame adalah keliru,” ungkapnya.

Pada bagian lainnya Ben Hadjon juga sependapat dengan pandangan ahli tersebut karena warna merah pada kanopi SPBU Pertamina bukan merupakan Corporate Colour Pertamina sehingga warna merah tersebut tidak dapat diklasifikasikan sebagai reklame. “Warna orporate Colour Pertamina memiliki tiga unsur, yakni Merah, hijau dan biru,” tegasnya

Konsekwensinya, warna merah pada kanopi SPBU Pertamina tidak dapat dijadikan dasar untuk perhitungan besarnya pajak reklame SPBU di Surabaya.

Hiswana Migas juga menyoal ketentuan dalam Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 70 Tahun 2010 Pasal 9 Ayat 2, yang menyebutkan bahwa penghitungan reklame berlaku pada logo, warna, gambar, dan tulisan paling luar yang membentuk bidang persegi panjang.

Sementara, Pasal 1 angka (4) memberikan definisi dasar tentang apa itu reklame, yaitu setiap benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan coraknya dirancang untuk komersial/promosi, yang ditujukan untuk mengenalkan, menganjurkan, atau mempromosikan suatu barang, jasa, orang, atau badan.

Pasal ini dimaksudkan untuk membatasi objek pajak reklame pada elemen visual terluar yang memiliki fungsi promosi. “Padahal, jika mengacu pada definisi Pasal 1 angka (4), syarat utama suatu objek disebut reklame adalah adanya tujuan promosi atau ajakan komersial”.ujarnya.

Pasal 9 ayat (2), lanjut Ben Hadjon tidak boleh berdiri sendiri, melainkan harus dibaca bersamaan dengan Pasal 1 angka (4) sebagai dasar interpretasi substansi reklame. “Ini penting untuk mencegah penafsiran sewenang-wenang oleh aparat atau pemungut pajak, serta menjaga asas kejelasan norma hukum dan perlindungan hukum terhadap identitas non-komersial,” tegasnya.

Ben Hadjon kemudian mempertanyakan penghitungan pajak reklame pada sisi kanopi yang tidak terlihat atau diakses publik, seperti yang berdempetan dengan tembok. “Di mana unsur promosinya, Ini adalah cacat secara substansi dan tidak obyektif,” tambahnya.

Ketentuan ini dikatakan Ben Hadjon, tidak berubah meskipun Perwali tersebut telah direvisi tiga kali. Di lapangan, terjadi tindakan penyilangan logo Pertamina di beberapa SPBU, yang dinilai Hiswana Migas merugikan karena menciptakan persepsi negatif di mata publik.

“Penyilangan logo tanpa penjelasan bisa menimbulkan persepsi negatif di mata publik. Masyarakat bisa berpikir bahwa SPBU melakukan pelanggaran atau kecurangan. Ini merugikan klien kami,” kata Ben Hadjon.

Polemik ini juga berkaitan dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menjadi dasar Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Surabaya menerbitkan SKPDKB ke 95 SPBU sebagaimana yang disampaikan oleh perwakilan dari Bapenda Surabaya. Namun, hingga kini, dokumen resmi rekomendasi BPK belum pernah diperlihatkan dalam rapat resmi. “Jika ini benar temuan BPK, seharusnya ada dokumen tertulis. Tapi kami belum pernah melihatnya,” ujar Ben Hadjon.

Hiswana Migas juga membandingkan penerapan aturan ini dengan daerah lain, seperti DKI Jakarta. Meskipun definisi reklame dalam Perda Nomor 1 Tahun 2024 DKI Jakarta sama persis dengan Perda Surabaya, penerapannya berbeda. “Hanya Surabaya yang menarik pajak dari warna kanopi SPBU. Ini soal penafsiran yang keliru,” kata sumber yang enggan ⁷disebutkan namanya.

Total nilai pajak kurang bayar yang ditagihkan kepada 95 SPBU mencapai sekitar Rp26,023 miliar. Hingga kini, belum ada SPBU yang memenuhi kewajiban pajak tersebut karena masih menunggu kepastian hukum.

Hiswana Migas menyatakan bahwa pembahasan lanjutan masih menunggu jadwal dari Pimpinan Komisi B DPRD Kota Surabaya.(Am)