JAKARTA – Ikatan Wartawan Hukum Iwakum) menegaskan permohonan uji materi Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) di Mahkamah Konstitusi (MK) bertujuan memperjelas dan memperkuat perlindungan hukum bagi wartawan.

Ketua Umum Iwakum Irfan Kamil menilai, argumentasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam persidangan tidak konsisten karena AJI menolak permohonan Iwakum namun pada saat yang sama mengakui lemahnya perlindungan hukum bagi wartawan di Indonesia.

“Keterangan AJI dalam sidang MK menurut kami penuh kontradiksi. AJI menyatakan Pasal 8 UU Pers sudah jelas, tetapi mereka sendiri mengakui masih banyak terjadi kriminalisasi dan kekerasan terhadap wartawan,” kata Kamil di gedung MK, Selasa (21/10/2025).

“Kalau norma itu memang sudah cukup, seharusnya tidak ada lagi wartawan dipidanakan karena karya jurnalistik,” ucapnya.

Kamil menegaskan Iwakum justru memperjuangkan agar mekanisme perlindungan hukum terhadap wartawan diperjelas secara konstitusional.

Ia menilai, norma Pasal 8 selama ini dibiarkan multitafsir karena hanya menyebut “perlindungan pemerintah dan masyarakat” tanpa menjelaskan bentuk dan mekanismenya.

“Permohonan Iwakum tidak membatasi perlindungan wartawan seperti disebutkan oleh AJI. Justru kami memperjuangkan agar wartawan tidak lagi ditarik ke ranah pidana maupun perdata ketika menjalankan kerja jurnalistik yang sah. Ini langkah mempertegas perlindungan, bukan mempersempit,” kata Kamil.

Koordinator Tim Kuasa Hukum Iwakum Viktor Santoso Tandiasa menambahkan, permohonan yang diajukan Iwakum meminta MK memberikan tafsir konstitusional agar setiap sengketa jurnalistik wajib tunduk terlebih dahulu pada UU Pers sebelum diproses dengan hukum lain.

“Intinya jelas, seluruh bentuk kriminalisasi terhadap wartawan dalam menjalankan profesinya harus dihentikan. Melalui permohonan ini, kami meminta MK menegaskan dua hal pertama, karya jurnalistik tidak boleh dipidana; kedua, aparat penegak hukum harus mendapatkan izin dari Dewan Pers sebelum melakukan tindakan kepada wartawan yang sedang menjalankan tugasnya,” kata Viktor.

Menurut Viktor, keterangan AJI yang menyatakan Iwakum mempersempit perlindungan wartawan adalah keliru.

“Kami justru memperkuat perlindungan hukum. Dengan adanya penegasan dari MK, wartawan tidak lagi bisa dikriminalisasi menggunakan pasal pencemaran nama baik, KUHP, atau UU ITE selama menjalankan kerja jurnalistik yang sah. Jadi Kita tidak mempersempit Norna Pasal 8 namun menambahkan pemaknaan termasuk tindakan kepolisian yang sebelumnya harus mendapatkan izin dari Dewan Pers” ucapnya.

Adapun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memberikan keterangan sebagai pihak Terkait dalam sidang lanjutan uji materi Pasal 8 UU Pers di Mahkamah Konstitusi pada Selasa (21/10/2025).

Perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Iwakum yang diwakili Ketua Umum Kamil dan Sekjen Ponco Sulaksono.

Dalam sidang tersebut, Ketua Umum PWI Akhmad Munir menyatakan Pasal 8 UU Pers tetap penting namun pelaksanaannya harus dimaknai aktif dan komprehensif agar tidak berhenti pada norma.

PWI juga menilai perlindungan hukum terhadap wartawan harus diperkuat secara sistematis.

Sementara itu, AJI dalam keterangannya menyebut Pasal 8 UU Pers beserta penjelasannya sudah cukup jelas, tetapi juga mengakui masih terjadi praktik kriminalisasi, kekerasan, dan gugatan terhadap jurnalis.

AJI menilai masalah utama perlindungan pers bukan pada norma UU Pers, melainkan pada lemahnya pelaksanaan.

“Kami menilai keterangan kedua pihak tersebut justru semakin memperkuat urgensi perlunya tafsir konstitusional agar mekanisme perlindungan wartawan memiliki kepastian hukum,” pungkas Viktor. (AS)