SURABAYA – Sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kabupaten Ngawi kembali dilanjut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya. Dua orang sebagai Terdakwa dalam kasus ini yakni anggota DPRD Ngawi Winarto dan juga notaris Nafiaturrohmah.
Dalam persidangan yang dipimpin hakim Irlina ini beragenda keterangan ahli perdata dari UGM yakni Dr Taufiq El Rahman SH, MHum. Namun sayangnya ahli tidak bisa datang karena sakit, sehingga keterangannya dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Reza Prasetya SH dalam persidangan.
Keterangan ahli yang dibacakan oleh JPU dinilai adanya kejanggalan oleh kuasa hukum Terdakwa Nafiaturrohmah. Jaksa Reza Prasetya SH dinilai memaksakan diri membawa kasus ini ke persidangan.
Hal itu disampaikan tim kuasa hukum Terdakwa Nafiaturrohmah yakni
Heru Nugroho SH MH, Sugihartono SH dan Dwi Priyono SH MH.
Heru Nugroho mengatakan bahwa sejak awal penetapan tersangka terhadap kliennya, kemudian dilakukan penahanan pihaknya sudah melakukan upaya hukum praperadilan, namun praperadilan yang diajukan tidak diterima karena Jaksa sudah melimpahkan pokok perkara ke Pengadilan.
Menurutnya, perkara yang menjerat kliennya. Banyak hukum acara yang dilanggar JPU diantaranya adalah surat ijin dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN).
“Karena klien kami yakni Terdakwa Nafiaturrohmah ini adalah seorang notaris, sesuai dalam UU Jabatan Notaris Nomor 2 tahun 2014 pasal 66 jelas diatur bahwa untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib mendapatkan persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN),” ujarnya, saat ditemui usai sidang.
Kejanggalan kedua tentang berkas perkara dalam perkara ini dipisah (splitsing) yakni Terdakwa Nafiaturrohmah dan Winarto.
“Tidak ada larangan pemisahan berkas (splitsing), tapi dalam perkara ini pemeriksaan saksi-saksi tidak dilakukan yang seharusnya karena hanya mengkopi paste dari berkas Winarto ke berkas Nafiaturrohmah. Padahal dalam hukum acara pidana kan tidak boleh seperti itu,” ujarnya.
Keterangan saksi yang mengaudit kerugian negara. Dalam perkara tindak pidana korupsi sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 25 tahun tahun 2016 bahwa kerugian negara itu harus nyata.
“Minggu kemarin JPU menghadirkan saksi dari auditor Ngawi, kami tanya apakah juga melakukan audit untuk terdakwa Nafiaturrohmah? Saksi tersebut mengatakan bahwa dia tidak mengaudit untuk terdakwa Nafiaturrohmah namun hanya mengaudit untuk terdakwa Winarto,” tambahnya.
Heru sangat menyayangkan sikap JPU yang menabrak hukum acara sesuai aturan yang ada dan lebih prihatin lagi hal itu juga diakomodir oleh pengadilan Tipikor Surabaya yang melanjutkan perkara sampai saat ini. “Karena ini adalah perkara pidana maka harusnya hukum acara ditegakkan, klien kami sudah direnggut kemerdekaannya dengan dilakukan penahanan sejak Juli 2025,” tegasnya.
Terkait ahli yang didatangkan JPU juga semuanya tidak hadir ada yang melalui zoom dan ada yang hanya dibacakan, sehingga pihak Terdakwa tidak bisa menggali lebih jauh dengan apa yang diterangkan ahli. “Waktu ahli yang diambil keterangannya melalui zoom, kami masih bisa bertanya. Contohnya kami tanyakan soal audit, apakah audit bisa dipakai terdakwa 1 kemudian dipakai terdakwa 2. Ahli menjawab tidak bisa, tapi ketika ditanya majelis hakim ahli menjawab bisa, ini kan tidak konsisten,” katanya.
Untuk persidangan hari ini di Pengadilan Tipikor, JPU Reza Prasetya SH mendatangkan ahli perdata dari UGM Dr Taufiq El Rahman SH, MHum. Ahli tidak bisa datang karena sakit, namun sayangnya keterangan sakit yang disampaikan JPU sudah dua bulan lalu. “Dengan keterangan ahli yang dibacakan maka banyak keterangan ahli yang tidak sesuai. Contohnya, ahli mengatakan apabila ada akta yang tidak ditandatangani maka itu batal demi hukum, padahal faktanya tidak ada satupun akta yang tidak ditandatangani. Saat pada saksi penjual tanah yang di hadirkan di persidangan, faktanya mereka bilang bahwa mereka tanda tangan,” ujar Heru.
Dengan pertanyaan yang diajukan JPU terhadap ahli perdata tersebut, Heru menduga adanya upaya framing yang dilakukan JPU bahwa Terdakwa Nafiaturrohmah saat menjalankan tugas sebagai notaris tidak dilakukan dengan benar. “Kalau menurut kami ini adalah bentuk kriminaliasi terhadap klien kami sebagai seorang notaris yang sudah melakukan tugasnya sebagai pejabat umum,” jelas Heru.
Heru juga menyinggung terkait dakwaan Jaksa tentang kekurangan bayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Terkait kekurangan bayar BPHTB menurut Heru harusnya masuk peradilan umum bukan peradilan korupsi karena subjek hukumnya adalah wajib pajak.
“Tapi setelah persidangan tepatnya dua Minggu lalu yang mana Jaksa mendatangkan saksi dari Badan Keuangan Ngawi yakni Muhammad Arwan, saya tanya kepada saksi, apabila ada kekurangan bayar apa yang dilakukan Basan Keuangan? Saksi menjawab, pihaknya akan menerbitkan surat ketetapan pajak daerah kurang bayar. Untuk perkara ini, saksi mengaku tidak menerbitkan surat ketetapan pajak daerah kurang bayar tersebut karena memang tidak menemukan kekurangan bayar dalam perkara ini,” pungkas Heru.(Am)



















